Pendakwah Islam yang Lurus Tidak Menjilat Penguasa
oleh Adi Supriadi, M.M
Hadi Nur Ramadhan dalam Patah Tak Tumbuh, Hilang Tak Berganti, 2001 menukil nasehat Mohammad Natsir mengatakan: “Akan bagaimanakah nasibnya suatu umat apabila alim-ulamanya bersifat hasad, apabila ilmu dipakai untuk menipu orang awam “
Apabila ayat-ayat Qur'an dan hadis Rasul dijual dengan harga murah untuk memenangkan yang salah dana mengalahkan yang benar, guna kesenangan diri sendiri asal sesuai dengan keinginan orang banyak atau selera para penguasa yang sedang berwenang.
Ilmu adalah karunia Ilahi yang diamanahkan kepada orang yang memilki ilmu, seperti para ulama dan cerdik pandai. Mereka ini bertanggung jawab untuk memelihara dan menyebarkan ilmu yang diamanahkan.
Maka akan berbahagialah salah satu umat yang dalam lingkungannya ada ulama dan cerdik pandai yang menyadari bahwa kelebihan ilmu yang ada pada diri masing-masing merupakan amanah yang dipercayakan Allah kepada mereka.
Yang harus mereka pergunakan untuk membimbing, menjaga kaum awam agar tingkat kecerdasan mereka bertambah maju dan terpelihara dari kesesatan dan kebatilan. Dipergunakan untuk menegur dan membetulkan para penguasa agar mereka pun jangan keliru mempergunakan wewenang mereka.
Selanjutnya M Natsir menegaskan pula bahwa jiwa seorang da'i harus merdeka dari sifat ananiyah (egoisme) yang menjerumuskan sang da'i pada sikap takabur, riya, dan ujub (ingin dikagumi).
Jika sifat ananiyah sudah masuk ke dalam niat tempat bertolak, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak. Ujung-ujungnya kembali kepada selera aku pribadinya.
Di antara sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang da'i adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu bersumber dari keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir dan batin.
Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini, seorang muballigh mudah sekali melakukan bermacam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk, menghela surut meskipun sudah nyata keliru fatwa.
Kemudian tajammul (mencari muka) dengan mendekatkan diri mencari kesayangan orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang muballigh atau ulama akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut!
Lebih lanjut M Natsir mengingatkan peran da’i, yaitu adanya kewajiban para da'i, muballigh, dan ulama tidak sekadar memberikan fatwa atau memberi vonis bahwa komunis itu haram. Tidak usah kita yang mengatakan bahwa orang awam pun mengatakan komunis itu jahat.
Kewajiban umat Islam adalah mengemukakan alternatif dalam menghadapi sistem komunis itu. Selain itu, mengemukakan alternatif yang baik untuk menghadapi sistem komunis itu. Mengemukakan alternatif yang baik untuk menghadapi yang buruk.
Tugas para da'i ialah menyampaikan kalimah hag dengan cara hasanah,
yang mengandung hikmah dan bijaksana. Kalimah hag itu senjata yang tajam, lebih tajam dari pisau, lebih tajam dari pedang, bahkan lebih tajam dari peluru. Sasaran tembakannya adalah jiwa manusia.
Menjadi da’i mesti siap dengan konsekuensinya, M Natsir mengatakan, “Bagi seorang muballigh bahwa satu kali dia melangkahkan kaki ke dalam gelanggang dakwah, maka semua mata dan telinga dj sekitarnya tertuju kepada pribadinya. Kepada tingkah lakunya, kepada sifat dan tabiatnya. Ringkasnya kepada apa yang disebut hidup pribadinya."
Boleh dikatakan bahwa semenjak itu dia sebenarnya tidak lagi mempunyai hidup pribadi di dalam arti yang lazim dipakai untuk orang lain. Semenjak itu, dia menjadi “milik masyarakat", 'seorang public person' dalam arti yang luas.
Da’i atau pendakwah Islam tidak bisa bersikap turut saja perkataanku, jangan pedulikan bagaimana aku dan apa yang dilakukan di samping itu! Tidak! Andaikata ada suatu fungsi lain di mana yang bersangkutan bisa bersikap begitu, kedudukan sebagai seorang pendukung dakwah tidak mengizinkannya berpendirian demikian.
Mau tak mau, gerak-gerik dalam hidup pribadinya bukan saja diperhatikan, tetapi juga langsung dijadikan orang bahan perbandingan dengan apa yang dianjurkannya dan yang dilarangnya sebagai muballigh.
Apa yang dilihat dan didengar orang dari hidup pribadinya itu bisa menambah kekuatan daya panggilnya sebagai pembawa dakwah, tetapi bisa juga melumpuhkan daya panggilnya, yakni bila lain yang tampak dari yang terdengar. Begitulah pembawaan dari tugasnya.
Disadur dari Hadi Nur Ramadhan dalam Patah Tak Tumbuh, Hilang Tak Berganti, 2001
*) Penulis adalah Dai Motivator, Aktivis & Jurnalis, Kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat tinggal di Kota Bandung, Jawa Barat.