Menunda Pemilu, Penguasa Tanpa Punya Rasa Malu

Oleh : Adi Supriadi, MM 


Penguasa tanpa punya rasa malu, rakyat jelata semakin merana bagai teriris sembilu. Inilah kondisi Bangsa Indonesia saat ini. Dari hari ke hari isu berganti untuk menutupi isu sebelumnya. Jika Anda terpengaruh sejatinya sudah dalam program mind control pemerintah yang berkuasa. Hal ini terjadi di semua negara yang penguasanya rakus akan jabatan, harta, dan kekuasaan. 

Menunda Pemilu, Penguasa Tanpa Punya Rasa Malu


Salah satu isu yang paling panas adalah penundaan pemilu atau dukungan Jokowi tiga periode. Ada ketua partai yang cari muka dengan memuji dan mendukung gagasan ini, dan sedikit sekali politisi yang mengkritisi, dalam hal ini baru PKS yang benar-benar tidak setuju dengan gagasan ini. 


Menunda Pemilu 204 dengan menambah periode Jokowi berkuasa seakan-akan permainan yang sengaja dimainkan atau bahkan dapat dicurigai ada agenda tersembunyi yang belum selesai oleh penguasa saat ini. Tujuannya tidak bukan tidak lain kecuali hanya melanggengkan kekuasaan bahkan jika Jokowi sudah tidak menjabat lagi.


Sangat mungkin agenda tersembunyi tersebut adalah belum siapnya calon penguasa berikutnya untuk meneruskan kekuasaan Jokowi atau lebih tepatnya kekuasaan partai penguasa Jokowi saat ini. 


Ide ini jelas ide yang keliru dan tidak ada rasa malu dari Istana tempat Penguasa berdiam di sana. Majalah Tempo menurunkan laporan yang memperlihatkan ada orang-orang di lingkaran Jokowi yang menggodok wacananya sedari awal. 


Tidak hanya itu, dalam laporan CNN Indonesia, juga dibicarakan adanya upaya orang dalam kabinet yang terlihat bekerja serius untuk melaksanakan hal tersebut. Kedua, beberapa partai tiba-tiba menyuarakan hal yang sama. Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tetiba bersuara sama. 


Meski secara persentase suara masih kecil jika dibandingkan dengan partai-partai yang belum mendukung ide itu, tetap diseriusi karena dalam banyak hal, partai-partai itu belum tentu menolak gagasan tersebut dengan alasan yang ideologis. Sangat bisa jadi hanya karena 'harga' yang belum disepakati. 


Walaupun beredar video lama yang seakan-akan Jokowi menolak tiga Periode pertanyaanya kenapa di setiap daerah sudah terpasang Foto Jokowi 3 Periode, Siapa yang pasang, atas perintah siapa? Dengan Pendanaan dari mana?


Tidak mungkin itu terpasang sendiri tanpa rencana yang jelas. 

Upaya melanggengkan kekuasaan Partai Penguasa sudah terjadi sejak lama, tetapi sepertinya belum cukup. Bukti sudah lamanya darimana ? Dari tidak ada Pilkada di tahun 2020, 2021, 2022, 2023.


Pertanyaanya, Pejabat dalam pengaruh siapa yang menjabat sebagai PLT Kepala Daerah di setiap daerah yang tidak ada pilkada karena harus menunggu 2024? Pejabat PLT Bupati, Walikota, Gubernur tersebut dalam kendali Siapa? tentu jawabannya mudah, dalam Departemen Dalam Negeri, dari Partai mana Menteri dalam Negeri saat ini? Sudahlah, Semuanya sangat mudah terbaca. Akan tetapi, sepertinya, agenda belum terpenuhi sehingga perlu penundaan hingga 2028 atau 2029. Nauzubillah.


Hamilton dalam The Federalist Papers, ketika konstitusi Amerika dalam perjalanannya mau menggunakan sistem presidensial untuk pertama kali bahwa pada dasarnya presiden itu ialah raja yang coba dibatasi dengan konstitusi. Itulah yang membuat salah satu genre konstitusionalisme yang diimani dalam demokrasi presidensial ialah pembatasan kekuasaan. Hal itu meliputi upaya untuk meredam kekuasaan agar tidak melakukan abuse of power serta pada saat yang sama adanya pembatasan masa jabatan (fixed term) yang ketat. Perjalanan sejarah memperlihatkan rapuhnya demokrasi presidensial pada sisi tersebut.


Beberapa negara memperlihatkan gejala bermain dengan masa jabatan itu dengan variasi-variasi cara dan mekanisme perpanjangan masa jabatan. Namun, rata-rata, berimplikasi dengan penambahan masa jabatan. 

Venezuela, Rusia, Turki, dan bahkan beberapa negara di Sub-Sahara telah memperlihatkan praktik politik dan ketatanegaraan yang bermain-main dengan masa jabatan. Pada saat yang sama, negara-negara tersebut tentu saja tidak dapat dijadikan contoh yang baik dalam konsep demokrasi. Bahkan, misalnya Guinea, yang bermain dengan masa jabatan, dan berakhir dengan kudeta militer atas perpanjangan masa jabatan tersebut. 


Bahkan, rata-rata di negara yang mengalami sejarah tak menyenangkan, dengan bermain-main dengan masa jabatan, selalu dengan alasan popularitas yang tinggi. Pemimpin yang terpilih secara demokratis tetiba bersalin rupa menjadi demagog, yang terus memompa popularitas semata jika dibandingkan dengan membangun masyarakat yang rasional. Itulah yang diingatkan sebagai jalan matinya demokrasi bagi Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018). 


Memaksa dan mengaitkan popularitas jika dibandingkan dengan konsep-konsep demokrasi lainnya, yang seharusnya juga memperhatikan nilai-nilai demokratis. Itulah sebabnya catatan pengingat dan garis tebal harus diberikan dan diingatkan dalam kerapuhan sistem presidensial pada sisi tersebut. Indonesia tentunya jauh dari kesan layak untuk mencontoh negara yang tak demokratis itu.


Belum lagi, kesan bermain dengan masa jabatan itu digaungkan dengan alasan yang mengada-ada. Misalnya, pernyataan yang menyatakan penundaan itu bisa dikaitkan dengan tingkat kepercayaan pada Jokowi yang sangat tinggi sebenarnya ialah alasan yang cenderung sesat.


Survei baik dari Indikator (Desember 2021) maupun LSI (Februari 2022) mudah dipakai untuk membantah anggapan yang digaungkan dengan menghubungkan antara dukungan publik dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Dari kedua survei tersebut, kita bisa belajar bahwa sebenarnya publik sangat menghendaki agar tetap ada pemilu pada 2024 meskipun tetap mengakui kinerja memuaskan bagi Presiden Jokowi. Bahkan, pendukung partai tertentu, yakni Golkar, PKB, dan PAN, ternyata juga tidak setuju dengan adanya penundaan pemilu dan tetap mendukung adanya Pemilu 2024. Artinya, ketua-ketua partai itu entah sedang membawa aspirasi siapa dalam lanskap politik ketatanegaraan yang dipakai sebagai usul untuk mengubah jadwal pemilu tersebut.


Belum lagi, pembicaraan tentang apa alasan yang mungkin dipakai. Menunda pemilu tentunya membutuhkan alasan yang benar dan bukan alasan pembenaran terhadap sesuatu yang disembunyikan dari Publik. Dalih yang digunakan Penguasa saat ini semakin memperlihatkan Kesombongan dan kerakusan atas kekuasaan negara di hadapan daulat rakyat dan kuasa publik.


Pasalnya, jalan yang tersedia tentu saja ialah jalan mengutak-atik pemilu, dengan cara menggunakan amendemen konstitusi dan jalan yang nonamendemen. Jalan amendemen tentu saja bukan jalan yang sederhana, tapi bukan berarti rumit.


Konstruksi UUD, khususnya Pasal 37, menempatkan cukup dengan usul 1/3 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR dan disetujui sekurang-kurangnya 1/2 plus satu dari jumlah anggota MPR. Itulah yang secara matematis menunjukkan amendemen konstitusi sebenarnya bukan hal yang sulit amat ,sangat mudah dilakukan penguasa karena Partai Oposisi saat ini hanya tinggal PKS Saja, Sehingga jika terjadi Voting oleh DPR MPR sangat mudah dimenangkan Penguasa untuk menunda Pemilu. Menunda Pemilu, Sikap Penguasa Tanpa Rasa Malu. 

Related

artikel 5025724420728734161

Ads

Banyak Dibaca


Opini Coach Addie

Hakikat Rasa Sakit

Keputusan yang bijak adalah mengasah kebijaksanaan dalam menghadapi setiap lelah, rasa sakit, gelisah, kesedihan, luka lara, patah hati, dan...

Anggota dari

Anggota dari

item