Kebebasan Pers Terancam, Adi Supriadi: Organisasi Jurnalis dan Wartawan Harus Tolak RUU RKUHP
BORNEO NUSANTARA NEWS - Jurnalis dan Aktivis Penggiat Media Sosial dan Digital, Adi Supriadi mengajak kepada seluruh organisasi Asosiasi Jurnalis dan Wartawan untuk menolak RUU KUHP, Karena berpotensi mengancam kebebasan pers, Dia juga mendukung Dewan Pers untuk mendorong DPR RI untuk menghapus beberapa pasal yang membuat Wartawan dan Jurnalis tidak berani lagi mengungkap kebenaran jika RUU KUHP ini telah disahkan menjadi UU.
Sebelumnya Dewan Pers, AJI, IJTI, dan PWI menolak pasal Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kebebasan pers.
Kebiasaan DPR RI untuk tidak melibatkan Stakeholder dalam pengambilan keputusan termasuk pembahasan RUU yang tidak transparan seperti yang terjadi pada UU CIPTA LAPANGAN KERJA (CILAKA) terjadi lagi, sekarang terjadi pada RUU KUHP, Selain pembahasan tidak transparan, tidak melibatkan stakeholder, DPR RI juga terlalu terburu-buru jika menetapkan RUU yang penuh kontraversi tersebut jika Penetapan dilakukan pada bulan juli ini.
"Seperti kasus UU CILAKA (Cipta Lapangan Kerja) yang harusnya direvisi dan diberi waktu hingga November 2023 oleh MK, DPR RI mengulangi hal yang sama pada RUU KUHP yang mana poin-poin yang sudah disampaikan Dewan Pers pada tahun 2019 tidak ada perubahan sama sekali “ Kata Adi Supriadi dalam keterangan tertulisnya pada wartawan di Jakarta, Sabtu (16/7).
Pemilik Media Digital ini juga mengatakan bahwa Wartawan akan menjadi Pribadi pengecut jika RUU ini menjadi UU apabila tidak diubah dengan menghapus beberapa pasal yang sarat dengan kepentingan Penguasa dan Pemerintah yang berkuasa yang tidak mau dikritik. Wartawan akan mudah dikriminalisasi dan akan mudah di intimidasi seperti yang terjadi pada beberapa wartawan dalam peliputan kasus Baku Tembak Anggota POLRI. Dampak buruknya Peran Dewan Pers seperti ditiadakan.
"Setidaknya ada 12 Pasal yang dapat membuat Penjahat siapapun dia baik dari Oknum Aparat Negara atau Pemilik Uang bisa mengintimidasi wartawan bahkan mengkriminalisasinya jika pasal ini tidak dihapus, Kebebasan Pers mati dan kebenaran tidak bisa diungkap “ Katanya.
Bagaimana mungkin, wartawan dilarang memuat tulisan yang mengkritik pemerintah, yang lucunya lagi jika mau mengkritik Pemerintah harus dengan solusi, Bagaimana bisa solusi oleh rakyat jelata dan wartawan sedangkan sumber solusinya ada pada pemegang kebijakan dan kekuasaan, inikan Omong Kosong RUU.
"Misalnya ada Emak-emak yang diwawancarai Wartawan dan mengkritik Pemerintah terkait langkanya dan Mahalnya minyak goreng padahal hanya akan menggoreng Telur Dadar, Lalu UU meminta emak-emak itu diminta memberikan solusi, padahal Solosi ada pada Negara atau Pemerintah sebagai Pengendali harga minyak goreng, bagi emak-emak yang penting bisa menggoreng, sedangkan solusi ketersediaan dan murahnya barang kan ada di Pemerintah, Ini kan Lucu “ Kata Adi.
Aktivis dan Anggota Aliansi Media Indonesia ini juga menegaskan bahwa RUU KUHP berpotensi bisa memenjarakan banyak wartawan dan nara sumber (Informan) wartawan, Negara ini benar-benar telah mundur beberapa puluh tahun ke belalang, disisi lain Index Demokrasi dan kebebasan berpendapat menurun, Organisasi yang dianggap mengancam kekuasaan dibubarkan bahkan jika tidak bisa dikriminalisasi, kini kebebasan pers pun diberangus, DPRI RI tidak lagi mewakili Rakyat melainkan kepentingan politik dan bisnis mereka sendiri, jika ini benar-benar terjadi.
Adi Supriadi memaparkan bahwa setuju dan mendukung Dewan Pers untuk terus mendesak DPR RI menghapus Pasal-Pasal yang dapat membuat Pers mati. Diantara pasal-pasal tersebut adalah:
1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.
2. Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013022/PUU-IV/2006.
3. Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah , serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) HARUS DIHAPUS karena sifat karet dari kata "penghinaan" dan "hasutan" sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi.
4. Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.
5. Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan.
6. Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan.
7. Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
8. Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan, pencemaran nama baik.
9. Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.